PENGARUH KEBUDAYAAN VIETNAM BAGI KEBUDAYAAN INDONESIA

A.   KEBUDAYAAN DONGSON
Kebudayaan Dongson adalah kebudayaan perunggu yang berkembang di Lembah Sông Hng, Vietnam. Kebudayaan Dongson secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 Sebelum Masehi. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh hoa. Menurut penelitian, di daerah inilah kebudayaan perunggu di Asia Tenggara, karena berdasarkan banyaknya temuan di daerah ini berupa segala macam alat dari perunggu dan besi dari zaman perunggu. Mengenai umur Kebuayaan Dongson, Victor Goloubew berpendapat bahwa kebudayaan tersebut berkembang sejak abad pertengahan sebelum Masehi. Pendapat tersebut berdasarkan temuan mata uang Cina yang berasal dari Dinasti Han di kuburan-kuburan Dongson. Adapun Van Heinie Galerrn menyatakan bahwa umur Kebuayan Dongson itu paling muda 300 SM. Pendapat ini diperkuat oleh tidak samanya hiasan nekara di Dongson dengan bentuk hiasan dari zaman Dinasti Han.
Perekonomian Dongson didasarkan atas hasil produksi padi secara ekstensif pada lahan-lahan yang beririgasi dengan bantuan bajak dan kerbau yang memungkinkan pertumbuhan penduduk yang meng-urban. Situs Dongson yang luasnya kira-kira 600 hektar telah ditemukan. Populasi Vietnam awal mungkin sudah sangat beradab, ini ditunjukkan dari situs-situs makamnya yang telah ada pembagian kelas sosial. Tahun 179-111 SM wilayah Tonkin, jantung ibukota Dongson menjadi bawahan/vassal Dinasti Zhao dari China. Awalnya kekuasaan daerah masih dipercayakan oleh penguasa lokal, namun dengan timbulnya pemberontakan oleh Trunk bersaudara pada tahun 43 M, membuat marah pemerintahan Dinasti Han Timur, yang akhirnya setelah dipadamkan pemberontakan itu, wilayah Tonkin dikuasai penuh menjadi salah satu provinsi di China. Ini ditunjukkan dengan akumulasi difusi kebudayaan China di antara populasi Vietnam yang menimbulkan evolusi kebudayaan Dongson. Sampai abad 3 M ditemukan artefak-artefak kombinasi gaya Dongson dan Dinasti Han.
Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Indochina pada masa peralihan dari periodeMesolitik dan Neolitik yang kemudian periode Megalitik. Pengaruh kebudayaan Dongson ini juga berkembang menuju Nusantara yang kemudian dikenal sebagai masa kebudayaan Perunggu.
HASIL KEBUDAYAAN DONGSON
1.  Arca Perunggu
Arca perunggu banyak ditemukan di Bangkinang (Sulawesi Selatan), Riau dan Bogor. Bentuknya menampilkan sosok manusia dalam posisi tertentu. Hal yang menarik, arca tersebut di bagian kepalanya diberi tempat untuk  mengaitkan tali atau menggantung.
 Image
Arca perunggu dari Bangkinang, Riau, Sumatera

2.  Kapak  sepatu atau kapak corong
Kapak corong adalah kapak yang terbuat dari perunggu yang bagian atasnya berbentuk corong. Kapak corong disebut juga kapak sepatu, karena bagian bentuk corongnya dipakai untuk tempat tangkai kayu yang bentuknya menyiku seperti bentuk kaki. Kapak corong banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Pulau Selayar dan Daerah sekitar Danau Sentani, Papua. Jenis kapak corong bermacam-macam. Ada yang kecil dan bersahaja, ada yang besar dan memakai hiasan, ada yang pendek lebar, ada yang bulat, dan ada yang panjang satu sisinya. Kapak corong yang panjang satu sisinya disebut candrasa. Tidak semua kapak tersebut digunakan sebagai perkakas, tetapi ada juga yang digunakan sebagai tanda kebesaran dan alat upacara.
 Image
Kapak corong
 Image
Candrasa, kira-kira panjangnya satu meter
3.  Nekara perunggu
Nekara adalah benda yang terbuat dari perunggu berbentuk seperti dandang yang terlungkup atau semacam kerumbung yang berpinggang pada bagian tengahnya dan bagian atasnya tertutup. Di bagian dinding nekara terdapat berbagai hiasan, seperti garis-garis lurus dan bengkok, pilin-pilin, bintang, rumah, perahu dan pemandangan-pemandangan seperti lukisan orang berburu dan orang-orang yang sedang melakukan upacara tari. Nekara perunggu banyak ditemukan di Bali, Pulau Sengean dekat Sumba, Pulau Selayar, Sumatra, Roti, Leti, Alor (Nusa Tenggara Timur) dan Kepulauan Kei.
Bentuk nekara di Indonesia Timur umumnya lebih besar dibandingkan nekara yang ditemukan di Indonesia Barat, seperti Jawa dan Sumatra. Orang Alor menyebut jenis nekara yang lebih kecil ukurannya dengan nama Moko. Menurut penelitian nekara hanya digunakan pada saat upacara-upacara ritual.
Image
Nekara dari kepulauan Selayar
Image
Moko dari Alor
4.  Bejana perunggu
Bejana perunggu berbentuk seperti periuk tetapi Langsing dan Gepeng. Bejana ditemukan di Kerinci (Sumatra Barat) dan Madura. Keduanya memiliki hiasan ukiran yang serupa dan sangat indah berupa gambar-gambar geometri dan pilin-pilin mirip huruf “j”. Bejana yang ditemukan di Madura terdapat pula gambar merak dan rusa dalam Kotak Segitiga. Tidak diketahui secara pasti fungsi benda ini.
 Image
Bejana Perunggu

5.  Perhiasan perunggu
Perhiasan perunggu, antara lain berbentuk gelang, kalung, anting-anting, dan cincin. Pada umumnya, barang-barang perhiasan tersebut tidak diberi hiasan ukiran. Peninggalan ini banyak ditemukan, antara lain di Anyer (Banten), Plawangan dekat Rembang (Jawa Tengah) Gilimanuk (Bali) dan Malelo (Sumba).
 Image
Gelang dan cincin perunggu, ditemukan di Pasemah, Sumatera Selatan
 Image
Manik-manik
B.   KEBUDAYAAN BACSON HOABINH
Kebudayaan Bacson-Hoabinh diperkirakan berasal dari tahun 10.000 SM-4000 SM,  kira-kira tahun 7000 SM. Istilah Bacson-Hoabinh digunakan sejak tahun 1920-an untuk menunjukkan tempat pembuatan alat-alat batu yang memiliki ciri dipangkas pada satu/dua sisi permukaannya. Batu kali yang berukuran lebih kurang satu kepalan dan seringkali seluruh tepiannya menjadi bagian yang tajam. Ditemukan di seluruh wilayah Asia Tenggara, hingga Myanmar (Burma) di barat dan ke utara hingga provinsi-provinsi Selatan, antara 1800 dan 3000 tahun yang lalu.
Pusat kebudayaan zaman Mesolitikum di Asia berada di dua tempat, yakni di Bacsondan Hoabinh. Kedua tempat tersebut berada di Tonkin, Vietnam. Penyebutan untuk ciri khas kebudayaan zaman Mesolitikum diberikan oleh ahli Prasejarah Perancis, Madeleine Colani.
Dari Tonkin, kebudayaan Bacson-Hoabinh menyebar ke wilayah Asia Tenggara lainnya. Persebaran kebudayaan tersebut bersamaan dengan masa perpindahan masyarakat di wilayah Vietnam ke Asia Tenggara. Ras yang masuk ke Indonesia pada zaman Mesolitikum adalah ras Papua Melanosoid. Ras ini umumnya sekarang bertempat tinggal di Papua.
Ras Papua Melanosoid sampai ke Indonesia pada zaman Holosen (Aluvium). Ras Melanosoid datang ke Indonesia dengan menggunakan transportasi berupa perahu bercadik. Pada awalnya, mereka mendiami Sumatera dan Jawa. Namun, karena terdesak oleh ras Melayu yang datang kemudian, mereka berpindah ke wilayah Indonesia Timur.
Ras Papua Melanosoid sudah hidup setengah menetap (semi-sedenter), hidup berburu, menangkap ikan dan bercocok tanam. Mereka tinggal di gua-gua atau di rumah panggung untuk menghindar dari binatang buas. Mereka meninggalkan sampah dapur (kjokkenmoddinger) di gua-gua (abris sous roche). Kjokkenmoddinger juga dibuang di bawah kolong rumah panggung mereka sehingga menumpuk dan menggunung. Di samping itu, juga ditemukan peralatan sehari-hari yang terbuang atau terjatuh, antara lain:
§  Pebble, jenis kapak genggam Mesolitikum yang sering disebut Kapak Sumatera.
§  Hache Courti (kapak pendek), bentuknya bulat dan panjang.
§  Batu gilingan kecil, berfungsi menggiling makanan dan bahan pewarna untuk berhias.
§  Kapak Proto-Neolitikum yang sudah halus
§  Pecahan tembikar
Awalnya masyarakat Bacson-Hoabinh hanya menggunkan alat dari gerabah yang sederhana berupa serpihan-serpihan batu tetapi pada tahun 600 SM dalam bentuk batu-batu yang menyerupai kapak yang berfungsi sebagai alat pemotong. Bentuknya ada yang lonjong, segi empat, segitiga, dan ada yang berbentuk berpinggang. Ditemukan pula alat-alat serpih, batu giling dari berbagai ukuran, alat-alat dari tulang dan sisa-sisa tulang belulang manusia yang dikuburkan dalam posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah. Ditemukan dalam penggalian di pegunungan batu kapur di daerah Vietnam bagian utara, yaitu di daerah Bacson pegunungan Hoabinh.
Di Indonesia, alat-alat dari kebudayaan Bacson-Hoabinh dapat ditemukan di daerah Sumatera, Jawa (lembah Sungai Bengawan Solo), Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua (Irian Jaya). Di Sumatera letaknya di daerah Lhokseumawe dan Medan. Alat-alat yang ditemukan di daerah tersebut menunjukkan kebudayaan Mesolitikum, dimana kapak-kapak tersebut dikerjakan secara kasar. Terdapat pula kapak yang sudah diasah tajam, hal ini menunjukkan kebudayaan Proto Neolitikum. Di antara kapak tersebut terdapat jenis pebbles yaitu kapak Sumatera dan kapak pendek.
Penyelidikan tentang persebaran Kapak Sumatera dan Kapak Pendek membawa kita melihat daerah Tonkin di Indocina dimana ditemukan pusat kebudayaan Prasejarah di pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh yang letaknya saling berdekatan.
Mme Madeline Colani, seorang ahli prasejarah Perancis menyebutkan/memberi nama alat-alat tersebut sebagai kebudayaan Bacson-Hoabinh. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa Tonkin merupakan pusat kebudayaan Asia Tenggara. Dari daerah tersebut kebudayaan ini sampai ke Indonesia melalui Semenanjung Malaya (Malaysia Barat) dan Thailand.
Manusia pada zaman Mesolitikum juga sudah mengenal kesenian. Wujud seni ditemukan pada umumnya berupa lukisan, seperti:
§  Lukisan pada kapak, berupa garis sejajar dan lukisan seperti mata yang ditemukan di kjokkenmoddinger.
§  Lukisan Babirusa yang banyak ditemukan di gua-gua di wilayah Leang-leang Maros. Usia lukisan itu diperkirakan 4 ribu tahun. Menurut penafsiran, diperkirakan lukisan tersebut adalah lukisan magis yang mempunyai tujuan tertentu.
§  Lukisan telapak tangan yang berwarna merah.

HASIL KEBUDAYAAN BACSON HOABINH
1.  Kapak Genggam
Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera. Bentuk pebble tersebut dikatakan sudah agak sempurna dan buatannya agak halus. Bahan untuk membuat kapak tersebut berasal dari batu kali yang dipecah-pecah.
 Image
Pebble
2.  Kapak Dari Tulang dan Tanduk
Di sekitar daerah Nganding dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun (Jawa Timur) ditemukan kapak genggam dan alat-alat dari tulang dan tanduk. Alat-alat dari tulang tersebut bentuknya ada yang seperti belati dan ujung tombak yang bergerigi pada sisinya. Adapun fungsi dari alat-alat tersebut adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah, serta menangkap ikan.
 Image
Alat-alat tulang dan tanduk rusa dari Ngandong
3.  Flakes
Flakes berupa alat alat kecil terbuat dari batu yang disebut dengan flakes atau alat serpih. Flakes selain terbuat dari batu biasa juga ada yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon.
 Image
Flakes
Image
Flakes dari Sangiran
Flakes mempunyai fungsi sebagai alat untuk menguliti hewan buruannya, mengiris daging atau memotong umbi-umbian. Jadi fungsinya seperti pisau pada masa sekarang. Selain ditemukan di Sangiran flakes ditemukan di daerah-daerah lain seperti Pacitan, Gombong, Parigi, Jampang Kulon, Ngandong (Jawa), Lahat (Sumatera), Batturing (Sumbawa), Cabbenge (Sulawesi), Wangka, Soa, Mangeruda (Flores).
C.   KEBUDAYAAN SA HUYNH
Kebudayaan Sa Huynh ada di pantai Vietnam dari akhir Kebudayaan Logam. Sa Huynh adalah kampung pesisir di selatan Da Nang, di antara Thua Thein dan delta sungai Dong Nai di provinsi Quang Nam, Vietnam. Kebudayaan ini muncul pertama kali pada 600 SM di Vietnam Utara. Kemunculan kerajinan perunggu yang di Vietnam tidak didahului dengan fase tembaga, kelihatannya telah terjadi secara bersamaan di Vietnam, Thailand Tengah dan Utara. Artefak-artefak awal di Vietnam Utara kebanyakan terdiri atas kapak lubang (socketed axes), mata tombak dan panah, pisau, belati, gelang dan lain-lain. Jumlahnya yang besar menunjukkan sebagian darinya pastilah diproduksi secara massal dalam bengkel-bengkel tertentu. Barang-barang yang dihasilkan awalnya terdiri dari campuran tembaga dan timah. Dengan berjalannya waktu, ditambahkan elemen lain semacam timah hitam.
Pada tahun 1909 sekitar 200 kuburan tempayan ditemukan di Sa Huynh. Tes karbon menunjukkan kebudayaan Sa Huynh sama terjadi dengan zaman kebudayaan Dongson, abad pertama sebelum Masehi. Kebudayaan ini menghasilkan alat perunggu yang memiliki corak tersendiri. Pendukung kebudayaan ini juga memiliki keahlian tinggi dalam bidang kerajinan, bahkan besi sudah digunakan masyarakat Sa Huynh ketika orang-orang Dongson masih memakai perunggu. Ragam hiasnya juga ditemukan di Taiwan, Thailand, Philipina dan Indonesia. Ragam hias gerabah Indonesia mendapat pengaruh dari tradisi gerabah Sa Huynh-Kalanay (Vietnam-Filipina) dan tradisi Bau-Melayu (Malaysia Timur). Tradisi pembuatan gerabah ini berlangsung sejak zaman Mesolitikum.
Para Imigran Austronesia telah bermukim di Vietnam Selatan kira-kira 1500 SM. Mereka mengembangkan sebuah kebudayaan yang biasa dinamai dengan nama desa dimana situs pertama ditemukan. Orang-orang Austronesia ini selama berabad-abad telah melakukan kontak budaya dengan Ban Kao dan Dongson. Teknik pertanian dan metalurgi yang berkembang di Thailand Tengah dan Vietnam Utara mempengaruhi kebudayaan mereka juga. Situs-situs Sa Huynh tersebar luas di sepanjang pantai Vietnam Selatan sampai pada delta sungai Mekong. Ada dua fakta yang pantas untuk dicatat terkait hubungan kultural Sa Huynh dengan para tetangga Indo-Chinanya:
1)   Sangat sedikit artefak Dongson di situs-situs Sa Huynh.
2)  Situs-situs ini lebih banyak menghadirkan artefak-artefak besi daripada perunggu. Sebaliknya Dongson lebih banyak menghasilkan artefak-artefak perunggu daripada besi.
Dari ini bisa disimpulkan orang-orang Sa Huynh mungkin lebih banyak hubungan komersial dengan komunitas Thailand Tengah daripada dengan orang-orang Dongson. Mengikuti pencaplokan Tonkin oleh dinasti Han, Vietnam Tengah sejenak berada di bawah kendali China. Wilayah-wilayah utara Vietnam yang telah takluk dijadikan salah satu provinsi bernama Rinan. Akhirnya pada tahun 192 M, terjadi pemberontakan yang berhasil mendirikan sebuah pemerintahan Sa Huynh yang merdeka di sebelah selatan Rinan yang disebut sebagai Lin Yi oleh orang-orang China. Selama berjalannya waktu, Lin Yi mengembangkan pengaruhnya sampai ke arah selatan dan timur pantai-pantai Vietnam Tengah. Kebudayaan asli Sa Huynh bertahan hingga awal millenium pertama M, saat kemudian kebudayaan ini cenderung berkiblat ke India melalui pengaruh Funan dan kemudian dikenal sebagai Champa (Cham).
Jadi, disini ada dua difusi kebudayaan paleometalik ke kepulauan Indo-Melayu: Apakah itu berasal dari Vietnam Utara (Dongson) atau Thailand Tengah (melalui Sa Huynh)? Karena pertukaran kultural dan komersial di kepulauan itu hanya bisa dilakukan melalui laut, dan karena tidak seperti orang-orang Austronesia, belum pernah ada bukti apapun bahwa orang-orang Viet adalah para pelaut ulung, maka kesimpulannya para pelaut Austronesia lah yang mungkin lebih berperan sebagia vektor/perantara bagi kerajinan-kerajinan baru itu.
Hubungan-hubungan yang kelihatannya tidak erat antara Sa Huynh dan Dongson menimbulkan teori bahwa ada lebih banyak pertukaran antara komunitas Austronesia Sa Huynh dengan Thailand Tengah daripada dengan Vietnam Utara. Kelihatannya juga kerajinan paleometalik terdifusi dari Thailand Tengah, baik sepanjang pantai semenanjung Melayu ke Sumatera dan Jawa atau langsung dari pusat-pusat Sa Huynh melalui jaringan komersial Laut China Selatan. Sedangkan difusi barang-barang perunggu Dongson dimungkinkan melalui jalur perdagangan khusus. Barang-barang ini telah menjadi barang berstatus atau barang mewah, langka yang tidak sembarangan orang mampu memilikinya. Bagi para pemimpin Austronesia, kepemilikan sebuah benda bernilai seni tinggi adalah pertanda yang nyata bagi status sosial mereka, dan itu diwakili oleh barang-barang kerajinan Dongson yang paling indah dan langka.
Barang status Dongson yang paling terkenal adalah kuali-kuali perunggu. Kuali-kuali ini telah digolongkan menjadi 4 tipe menurut seorang ahli bernama Heger. Di Indonesia, hanya tipe 1 yang ditemukan. Kesamaan mereka adalah mereka dicor secara kesatuan dengan menerapkan metode lilin hilang (lost wax method) dan menggunakan campuran logam tembaga, timah dan timah hitam. Timah hitam digunakan untuk mengurangi titik didih dan memungkinkan pengecoran benda-benda logam yang lebih besar. Kuali-kuali itu dihiasi dengan figur/gambar berupa sosok-sosok manusia, binatang dan rumah dalam bentuk yang geometris. Teknik pengecoran sebuah kuali dalam satu kesatuan sangatlah sukar dan perlu berabad-abad bagi para pandai besi Dongson untuk mempelajari komposisi campuran logamnya. Teknik ini tidak pernah berkembang di kepulauan Indo-Melayu dan untuk menirunya, sebuah teknik baru dikembangkan di Bali dan Jawa Timur. Kuali-kuali yang dikembangkan berbeda dengan yang di Dongson dalam dua segi. Kuali-kuali ini dicor dalam dua bagian dan mereka memiliki sebuah tympanum yang menonjol keluar. Yang mewakili ini adalah kuali ‘bulan Pejeng’ di Bali. Dampak material dan kultural dari difusi kerajinan Paleometalik di antara komunitas Austronesia menjadi semacam titik tinggal landas yang menimbulkan perubahan sosial yang mendalam dan menandai awal suatu transisi dari komunitas agrikultural yang cukup egalitarian menjadi masyarakat yang lebih berhirarki dan lebih urban.

HASIL KEBUDAYAAN SA HUYNH
A. Lingling-O
Sejenis anting-anting yang khas atau bandul kalung dengan kedua ujungnya, berhias kepala hewan (kemungkinan kijang) yang ditemukan pada sejumlah tempat di Muangthai, Vietnam, Palawan, Serawak.
 Image
B. Tempayan kubur
Kebudayaan dalam bentuk tempayan kubur di temukan di Sa Huynh termasuk tembikar-tembikar yang berhasil ditemukan itu memiliki hiasan-hiasan garis dan bidang yang diisi dengan tera tepian kerang. Kebudayaan Sa Huynh memiliki banyak persamaan dengan tempayang kubur yang ditemukan di wilayah laut Sulawesi.
 Image
B. Bejana perunggu
 Image
C. Tembikar
Image


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karya Tulis Sumpah Pemuda

Laporan Pengolahan Labu Kuning

Rumah Makan Pondok Baselo Soppeng